gambar

gambar

Senin, 21 Januari 2013

Belajar dari Negeri Sakura

maaf tulisan ini sebenernya repost dari salah satu situs, ini situsnya
http://www.kaskus.co.id/thread/50f2c417e974b4382a000001 
 

"Di Jepang, Sekolah dasar mengajarkan MORAL, di Indonesia mengajarkan ILMU TEKNOLOGI"

Anak saya bersekolah di salah satu Sekolah Dasar Negeri (SDN) kota Tokyo, Jepang. Pekan lalu, saya diundang untuk menghadiri acara “open school” di sekolah tersebut. Kalau di Indonesia, sekolah ini mungkin seperti SD Negeri yang banyak tersebar di pelosok nusantara. Biaya sekolahnya gratis dan lokasinya di sekitar perumahan.
Pada kesempatan itu, orang tua diajak melihat bagaimana anak-anak di Jepang belajar. Kami diperbolehkan masuk ke dalam kelas, dan melihat proses belajar mengajar mereka. Saya bersemangat untuk hadir, karena saya meyakini bahwa kemajuan suatu bangsa tidak bisa dilepaskan dari bagaimana bangsa tersebut mendidik anak-anaknya.
Melihat bagaimana ketangguhan masyarakat Jepang saat gempa bumi lalu, bagaimana mereka tetap memerhatikan kepentingan orang lain di saat kritis, dan bagaimana mereka memelihara keteraturan dalam berbagai aspek kehidupan, tidaklah mungkin terjadi tanpa ada kesengajaan. Fenomena itu bukan sesuatu yang terjadi “by default”, namun pastilah “by design”. Ada satu proses pembelajaran dan pembentukan karakter yang dilakukan terus menerus di masyarakat.


Dan saat saya melihat bagaimana anak-anak SD di Jepang, proses pembelajaran itu terlihat nyata. Fokus pendidikan dasar di sekolah Jepang lebih menitikberatkan pada pentingnya “Moral”. Moral menjadi fondasi yang ditanamkan “secara sengaja” pada anak-anak di Jepang. Ada satu mata pelajaran khusus yang mengajarkan anak tentang moral. Namun nilai moral diserap pada seluruh mata pelajaran dan kehidupan.

Sejak masa lampau, tiga agama utama di Jepang, Shinto, Buddha, dan Confusianisme, serta spirit samurai dan bushido, memberi landasan bagi pembentukan moral bangsa Jepang. Filosofi yang diajarkan adalah bagaimana menaklukan diri sendiri demi kepentingan yang lebih luas. Dan filosofi ini sangat memengaruhi serta menjadi inti dari sistem nilai di Jepang. Anak-anak diajarkan untuk memiliki harga diri, rasa malu, dan jujur. Mereka juga dididik untuk menghargai sistem nilai, bukan materi atau harta. 

Di sekolah dasar, anak-anak diajarkan sistem nilai moral melalui empat aspek, yaitu Menghargai Diri Sendiri (Regarding Self), Menghargai Orang Lain (Relation to Others), Menghargai Lingkungan dan Keindahan (Relation to Nature & the Sublime), serta menghargai kelompok dan komunitas (Relation to Group & Society). Keempatnya diajarkan dan ditanamkan pada setiap anak sehingga membentuk perilaku mereka.

Pendidikan di SD Jepang selalu menanamkan pada anak-anak bahwa hidup tidak bisa semaunya sendiri, terutama dalam bermasyarakat. Mereka perlu memerhatikan orang lain, lingkungan, dan kelompok sosial. Tak heran kalau kita melihat dalam realitanya, masyarakat di Jepang saling menghargai. Di kendaraan umum, jalan raya, maupun bermasyarakat, mereka saling memperhatikan kepentingan orang lain. Rupanya hal ini telah ditanamkan sejak mereka berada di tingkat pendidikan dasar.
Empat kali dalam seminggu, anak saya kebagian melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga. Ia harus membersihkan dan menyikat WC, menyapu dapur, dan mengepel lantai.

Setiap anak di Jepang, tanpa kecuali, harus melakukan pekerjaan-pekerjaan itu. Akibatnya mereka bisa lebih mandiri dan menghormati orang lain.
Kebersahajaan juga diajarkan dan ditanamkan pada anak-anak sejak dini. Nilai moral jauh lebih penting dari nilai materi. Mereka hampir tidak pernah menunjukkan atau bicara tentang materi. Anak-anak di SD Jepang tidak ada yang membawa handphone, ataupun barang berharga. Berbicara tentang materi adalah hal yang memalukan dan dianggap rendah di Jepang.

Keselarasan antara pendidikan di sekolah dengan nilai-nilai yang ditanamkan di rumah dan masyarakat juga penting. Apabila anak di sekolah membe
rsihkan WC, maka otomatis itu juga dikerjakan di rumah. Apabila anak di sekolah bersahaja, maka orang tua di rumah juga mencontohkan kebersahajaan. Hal ini menjadikan moral lebih mudah tertanam dan terpateri di anak.

Dengan kata lain, orang tua tidak “membongkar” apa yang diajarkan di sekolah oleh guru. Mereka justru mempertajam nilai-nilai itu dalam keseharian sang anak.
Saat makan siang tiba, anak-anak merapikan meja untuk digunakan makan siang bersama di kelas. Yang mengagetkan saya adalah, makan siang itu dilayani oleh mereka sendiri secara bergiliran. Beberapa anak pergi ke dapur umum sekolah untuk mengambil trolley makanan dan minuman. Kemudian mereka melayani teman-temannya dengan mengambilkan makanan dan menyajikan minuman.

Hal seperti ini menanamkan nilai pada anak tentang pentingnya melayani orang lain. Saya yakin, apabila anak-anak terbiasa melayani, sekiranya nanti menjadi pejabat publik, pasti nalurinya melayani masyarakat, bukan malah minta dilayani.
Saya sendiri bukan seorang ahli pendidikan ataupun seorang pendidik. Namun sebagai orang tua yang kemarin kebetulan melihat sistem pendidikan dasar di SD Negeri Jepang, saya tercenung. Mata pelajaran yang menurut saya “berat” dan kerap di-“paksa” harus hafal di SD kita, tidak terlihat di sini. Satu-satunya hafalan yang saya pikir cukup berat hanyalah huruf Kanji. Sementara, selebihnya adalah penanaman nilai.

Besarnya kekuatan industri Jepang, majunya perekonomian, teknologi canggih, hanyalah ujung yang terlihat dari negeri Jepang. Di balik itu semua ada sebuah perjuangan panjang dalam membentuk budaya dan karakter. Ibarat pohon besar yang dahan dan rantingnya banyak, asalnya tetap dari satu petak akar. Dan akar itu, saya pikir adalah pendidikan dasar.
Sistem pendidikan Jepang seperti di atas tadi, berlaku seragam di seluruh sekolah. Apa yang ditanamkan, apa yang diajarkan, merata di semua sekolah hingga pelosok negeri. Mungkin di negeri kita banyak juga sekolah yang mengajarkan pembentukan karakter. Ada sekolah mahal yang bagus. Namun selama dilakukan terpisah-terpisah, bukan sebagai sistem nasional, anak akan mengalami kebingungan dalam kehidupan nyata. Apalagi kalau sekolah mahal sudah menjadi bagian dari mencari gengsi, maka satu nilai moral sudah berkurang di sana.

Di Jepang, masalah pendidikan ditangani oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Olah Raga, dan Ilmu Pengetahuan Jepang (MEXT) atau disebut dengan Monkasho. Pemerintah Jepang mensentralisir pendidikan dan mengatur proses didik anak-anak di Jepang. MEXT menyadari bahwa pendidikan tak dapat dipisahkan dari kebudayaan, karena dalam proses pendidikan, anak diajarkan budaya dan nilai-nilai moral.
Mudah-mudahan dikeluarkannya kata “Budaya” dari Departemen “Pendidikan dan Kebudayaan” sehingga “hanya” menjadi Departemen “Pendidikan Nasional” di negeri kita, bukan berarti bahwa pendidikan kita mulai melupakan “Budaya”, yang di dalamnya mencakup moral dan budi pekerti.
Hakikat pendidikan dasar adalah juga membentuk budaya, moral, dan budi pekerti, bukan sekedar menjadikan anak-anak kita pintar dan otaknya menguasai ilmu teknologi. Apabila halnya demikian, kita tak perlu heran kalau masih melihat banyak orang pintar dan otaknya cerdas, namun miskin moral dan budi pekerti. Mungkin kita terlewat untuk menginternalisasi nilai-nilai moral saat SD dulu. Mungkin waktu kita saat itu tersita untuk menghafal ilmu-ilmu “penting” lainnya.

Demikian sekedar catatan saya dari menghadiri pertemuan orang tua di SD Jepang.
 

pagi ini saya tergugah untuk mengepost ini karena memang “gerah” dengan kondisi bangsa ini :(
setelah baca artikel di atas, saya spontan menganggukkan kepala karena memang benar adanya. Peserta didik kita terlalu dibentuk untuk menjadi sang pemenang dengan membawa NILAI (MATERI), bukan menjadi pemenang bekualitas dari manapun. Dan saya juga tidak mengerti mengapa peserta didik kita mempunyai mental yang tidak cukup kuat, atau mungkin karena telah dibentuk seperti itu..
saya sering memikirkan bagaimana jadinya peserta didik kita ketika mereka menjadi penerus bangsa, karena yang terlihat tidak ada perubahan signifikan. Dan pertanyaan saya, memang haruskah perubahan itu berada pada pemerintahan? Jika tidak, apakah ada ruang dan kesempatan yang diberikan?  

Selasa, 08 Januari 2013

Model Pembelajaran Inductive Thinking

Bismillah, mau share tentang inductive thinking...walaupun belum bisa mengeluarkan teori-teori tapi mencoba menyusun boleh kan ;)
lebih tepatnya sih bukan belum bisa, tapi belum diizinkan kata dosen saya


          Pengertian Model Pembelajaran Inductive Thinking
Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam Fajri (2010) (http://vhajrie27.wordpress.com/2010/01/20/inductive-thinking-what-is-that/) berpikir merupakan bentuk kata yang berasal dari kata dasar pikir yang berarti akal, budi, ingatan, angan-angan, kata dalam hati, pendapat (pertimbangan).
Proses berpikir merupakan suatu proses terjadi dalam otak seseorang yang dimana proses tersebut diharapkan menghasilkan sesuatu yang memang belum ada maupun merupakan suatu bentuk inovasi atau pembaruan dari hal yang telah ada.
Dzaki (2009) (http://penelitiantindakankelas.blogspot.com/2009/03/model-pembelajaran-induktif-struktur.html) model pembelajaran induktif adalah sebuah pembelajaran yang bersifat langsung tapi sangat efektif untuk membantu siswa mengembangkan keterampilan berpikir tingkat tinggi dan keterampilan berpikir kritis.
Dalam kaitannya pada proses pembelajaran di satuan pendidikan dasar di Indonesia,  model berpikir induktif cenderung lebih mudah digunakan pada materi pembelajaran yang masih bersifat konseptual. Ha ini dapat dilihat pada pola dan karakteristik pembelajaran yang merupakan kategori berpikir induktif ini. Namun, tidak menutup kemungkinan aktivitas yang dikembangkan dalam proses pembelajaran akan melibatkan unsur psikomotorik dari peserta didik.

         Hakikat Model Pembelajaran Inductive Learning
Taba dalam Purwanto (2012) (http://herydotus.wordpress.com/2012/03/08/model-pembelajaran-inductive-thinking/) model pembelajaran berpikir induktif sebenarnya merupakan pembawaan sejak lahir dan keberadaannya sudah absah. Ia hadir sebagai suatu revolusioner, mengingat sekolah-sekolah saat ini telah memutuskan untuk mengajar dalam corak yang tidak absah dan sering merongrong kapasitas bawaan sejak lahir.
Uno dalam Purwanto (2012) (http://herydotus.wordpress.com/2012/03/08/model-pembelajaran-inductive-thinking/) model pembelajaran berpikir induktif ini merupakan karya besar Hida Taba. Model pembelajaran berpikir induktif merupakan suatu strategi mengajar yang di kembangkan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam mengolah informasi.
Secara singkat model ini merupakan strategi mengajar untuk mengembangkan strategi berpikir siswa. Model ini di kembangkan atas dasar beberapa postulat sebagai berikut:
1.      Kemampuan berpikir dapat di ajarkan.
2.      Berpikir merupakan suatu transaksi aktif individu dengan data. Artinya penataan kelas, bahan ajar merupakan sarana bagi siswa untuk mengembangkan operasi kognitif tertentu.
3.      Proses berpikir merupakan suatu urutan tahapan yang berurutan. Artinya, agar dapat menguasai keterampilan berpikir tertentu, prasyarat tertentu harus di kuasai terlebih dahulu dan urutan tahapan ini tidak bisa di balik.
Baharudin dalam Purwanto (2012) (http://herydotus.wordpress.com/2012/03/08/model-pembelajaran-inductive-thinking/) model pembelajaran induktif merupakan cara yang tepat untuk membantu siswa untuk mendapatkan sebuah informasi penting. Salah satu hal yang perlu dipahami seorang guru berkaitan dengan proses belajar siswanya adalah kompetensi kognitif, kapasitas siswa untuk berpikir abstrak dan strategi mnemonik mereka.
 
         Karakteristik Model Pembelajaraan Inductive Thinking
Fajri (2010) (http://vhajrie27.wordpress.com/2010/01/20/inductive-thinking-what-is-that/) model berpikir induktif meyakini bahwa siswa sebagai peserta didik merupakan konseptor ilmiah. Setiap saat seseorang selalu berusaha untuk melakukan suatu konseptualisasi dalam hal apapun, proses berpikir induktif diperlukan. Model berpikir induktif mempunyai beberapa karakteristik utama antara lain;
1. Fokus
Fokus membantu peserta didik untuk berkonsentrasi pada satu ranah/kemampuan berpikir (bidang penelitian) yang dapat mereka kuasai, tanpa mengecilkan keinginan dalam hati mereka yang jelas membuatnya tidak bisa menggunakan seluruh kemampuan untuk menghasilkan suatu gagasan yang luar biasa.
Hal utama yang perlu dilakukan adalah menyajikan seperangkat data yang menyediakan informasi terhadap suatu cakupan mata pelajaran tertentu dengan meminta peserta didik mempelajari sifat-sifat objek dalam perangkat yang disajikan tersebut.
Dengan fokus terhadap suatu kajian tertentu yang familiar di telinga dan mata peserta didik hal ini diharapkan dapat mendukung dan mencapai proses pembelajaran yang optimal sebagaimana tujuan yang akan dicapai pada standar isi (Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar).
2. Pengawasan/kontrol konseptual
Membantu siswa mengembangkan kemampuan konseptual terhadap satu ranah/bidang kajian tertentu. Dalam hal ini sebagai contoh yaitu siswa disajikan tentang berbagai kegiatan yang berkaitan dengan kegiatan ekonomi di Indonesia, siswa akan mengklasifikasikan berbagai kegiatan ekonomi tersebut dalam suatu kelompok/jenis seperti kegiatan produksi, konsumsi, dan distribusi.
Melalui pengetahuan awal peserta didik akan lebih mudah mengembangkan pemahaman dan karakteristik kegiatan ekonomi di Indonesia seperti produsen-produsen yang menghasilkan suatu produk makanan ringan dengan merk tertentu, maupun contoh-contoh praktek penjualan yang bukan hanya barang saja yang dapat didistribusikan sebagai objek jual, namun jasa juga dapat dijual pada proses jual-beli sebagai implementasi pada proses distribusi objek tertentu.
Hal ini akan melatih peserta didik untuk memudahkan proses klasifikasi dan kategorisasi dalam membedakan dan memahami karakter produksi, konsumsi, dan distribusi sekalipun dengan banyaknya objek yang disajikan pada proses pembelajaran di tiap awal pertemuan (apersepsi).
3. Mengkonversi pemahaman konseptual menjadi ketrampilan
Dalam hal proses membangun pemahaman secara konseptual pada proses klasifikasi secara abstrak, peserta didik tanpa disadari tentunya akan melakukan suatu aktifitas yang melibatkan unsur motorik dan tentunya kognitif mereka.
Melalui proses kategorisasi dan pengelompokan ini, peserta didik akan menggunakan tangannya untuk menulis dan memikirkan jenis pengelompokan yang digunakan untuk membedakan mana yang termasuk kegiatan produksi, kegiatan distribusi, dan mana yang termasuk kegiatan konsumsi.
Namun bila dilihat secara global hal ini bukanlah sesuatu yang sulit bagi seorang peserta didik sesederhana apapun materi pokok yang dipelajari bila tanpa adanya keterlibatan dari peserta didik dirasakan akan kurang optimal sebagaimana prinsip yang dikembangkan para pemikir konstruktivisme.

         Tahapan Model Pembelajaran Inductive Thinking
Tahap – tahap model induktif meliputi empat aspek antara lain dalam Fajri (2010) (http://vhajrie27.wordpress.com/2010/01/20/inductive-thinking-what-is-that/);
1.      Mengidentifikasi dan penghitungan data yang relevan dengan materi pembelajaran yang akan dipelajari;
2.      Mengelompokkan objek-objek data menjadi kategori yang anggotanya bersifat umum;
3.      Menafsirkan data dan mengembangkan label untuk kategori sebelumnya (point 2) sehingga data dapat dimanipulasi secara simbolis;
4.      Mengubah kategori-kategori menjadi ketrampilan/hipotes.

         Implementasi Model Pembelajaran Inductive Thinking pada Pembelajaran Pkn di SD
Di antara sekian banyak model dan strategi serta metode pembelajaran yang pernah ada dan dikupas banyak ahli pendidikan, satu diantaranya adalah model pembelajaran berpikir induktif (learning inductively). Pembelajaran secara induktif banyak digunakan dan diimplementasikan pada pola pembelajaran secara individual, merupakan kelompok model pembelajaran yang memproses informasi, Bruce, et. al. dalam Fajri (2010) (http://vhajrie27.wordpress.com/2010/01/20/inductive-thinking-what-is-that/).
Implementasi metode pembelajaran pemrosesan informasi dengan teknik induktive thinking dapat diimplementasikan pada beberapa materi pembelajaran yang tentunya sesuai dengan karakteristik yang ada.
Berikut implementasi model pembelajaran inductive thinking pada pembelajaran Pkn di SD;
1.      Mengidentifikasi dan penghitungan data yang relevan dengan materi pembelajaran yang akan dipelajari;
Dalam mengimplementasikan inductive thinking dalam mata pelajaran, yang pertama kita lakukan adalah mencari materi pembelajaran pkn yang cocok dengan menggunakan model pembelajaran inductive thinking.
Lalu cari data – data yang ada dalam materi yeng berhubungan dengan model pembelajaran inductive thinking  dan juga materi pembelajaran pkn.
2.      Mengelompokkan objek-objek data menjadi kategori yang anggotanya bersifat umum;
Mengelompokkan data khusus yang terdapat materi pkn menjadi data yang bersifat umum, dalam tahap ini diperlukan ilustrasi – ilustrasi yang dimengerti oleh peserta didik.
3.      Menafsirkan data dan mengembangkan label untuk kategori sebelumnya (point 2) sehingga data dapat dimanipulasi secara simbolis;
Menafsirkan data – data umum tersebut sehingga dapat dimengerti secara nyata oleh peserta didik. Menafsirkan data – data umum tersebut bisa dilakukan dengan cara melakukan tanya jawab kepada peserta didik.
4.      Mengubah kategori-kategori menjadi keterampilan/hipotes.
Data – data umum yang sudah ditafsirkan, dijelaskan kepada peserta didik dan dipelajari lebih lanjut menjadi pengetahuan (pemrosesan informasi.

          Kelebihan dan Kelemahan Model Pembelajaran Inductive Thinking
Beberapa hal yang kontras namun perlu diketahui adalah apapun jenis metode yang digunakan pastinya akan ada kelebihan dan kekurangan ketika diimplementasikan pada proses pembelajaran yang berlangsung, Restiana (2009) (http://restianarendi.wordpress.com/2009/12/05/model-belajar-induktif/) menyatakan kelebihan dan kekurangan dari model berpikir induktif ini, antara lain;
o   Kelebihan  Model Pembelajaran Induktif
1.      Pada model pembelajaran induktif guru langsung memberikan presentasi informasi-informasi yang akan memberikan ilustrasi-ilustrasi tentang topik yang akan dipelajari siswa, sehingga siswa mempunyai parameter dalam pencapaian tujuan pembelajaran.
2.      Ketika siswa telah mempunyai gambaran umum tentang materi pembelajaran, guru membimbing siswa untuk menemukan pola-pola tertentu dari ilustrasi-ilustrasi yang diberikan tersebut sehingga pemerataan pemahaman siswa lebih luas dengan adanya pertanyaan-pertanyaan antara siswa dengan guru.
3.      Model pembelajaran induktif menjadi sangat efektif untuk memicu keterlibatan yang lebih mendalam dalam hal proses belajar karena proses tanya jawab tersebut.
o   Kelemahan Model Pembelajaran Induktif
1.      Model ini membutuhkan guru yang terampil dalam bertanya (questioning) sehingga kesuksesan pembelajaran hampir sepenuhnya ditentukan kemampuan guru dalam memberikan ilustrasi-ilustrasi.
2.      Tingkat keefektifan model pembelajaran induktif ini, sangat tergantung pada keterampilan guru dalam bertanya dan mengarahkan pembelajaran, dimana guru harus menjadi pembimbing yang akan untuk membuat siswa berpikir.
3.      Model pembelajaran ini sangat tergantung pada lingkungan eksternal, guru harus bisa menciptakan kondisi dan situasi belajar yang kondusif agar siswa merasa aman dan tak malu/takut mengeluarkan pendapatnya. Jika syarat-syarat ini tidak terpenuhi, maka tujuan pembelajaran tidak akan tercapai secara sempurna.
4.      Saat pembelajaran berlangsung dengan menggunakan model pembelajaran induktif, guru harus telah menyiapkan perangkat-perangkat yang akan membuat siswa beraktivitas dan mengobarkan semangat siswa untuk melakukan observasi terhadap ilustrasi-ilustrasi yang diberikan, melalui pertanyaan-pertanyaan yang diberikan oleh guru. Dengan metode ini maka kemandirian siswa tidak dapat berkembang optimal.
5.      Guru harus menjaga siswa agar perhatian mereka tetap pada tugas belajar yang diberikan, sehingga peran guru sangat vital dalam mengontrol proses belajar siswa.
6.      Kesuksesan proses belajar mengajar dengan menggunakan model pembelajaran induktif bergantung pada contoh-contoh atau ilustrasi yang digunakan oleh guru.
7.      Pembelajaran tidak dapat berjalan bila guru dan muridnya tidak suka membaca, sehingga tidak mempunyai pilihan dalam proses induktif.

         Kesimpulan
Dzaki (2009) (http://penelitiantindakankelas.blogspot.com/2009/03/model-pembelajaran-induktif-struktur.html) model pembelajaran induktif adalah sebuah pembelajaran yang bersifat langsung tapi sangat efektif untuk membantu siswa mengembangkan keterampilan berpikir tingkat tinggi dan keterampilan berpikir kritis.
Keterampilan tingkat tinggi dan berpikir kritis diasah melalui ilustrasi – ilustrasi yang diberikan oleh guru sehingga memunculkan motivasi peserta didik dalam mengungkapkan pendapatnya, sehingga pemrosesan informasi dalam pembelajaran inductive thinking didapat dari tanya jawab guru dan peserta didik.
Jika dilihat dari sumber yang saya dapat kelemahan model pembelajaran inductive thinking lebih banyak daripada kelebihannya. Menurut saya, apabila seorang guru yang mengimplementasikan model pembelajaran ini dapat mensiasati kelemahan – kelemahan tersebut, tidak hanya tujuan yang akan tercapai namun karakter peserta didik akan diperbaiki karena model pembelajaran ini membangun karaakter peserta didik yang aktif, berani, dan berwawasan luas.

Followers